Thursday, April 30, 2009

Join Member Symphony Orchestraku.

Member Symphony Orchestraku

Halo Kawan,

Untuk menjadi member Symphony Orchestraku Free alias Gratis!!!!!. Kamu cukup mengakses www.surabayasymphonyorchestra.com. Klik Membership. Nah....disitu ada penjelasannya. Kamu tinggal ikuti aja. Oke?

Kawan, kamu bisa juga mengikuti program "We Care". Program "We Care" ini merupakan program mulia dari Surabaya Symphony Orchestra yang peduli dengan kemampuan musikalitas anak Indonesia yang berbakat, tapi kurang mampu dalam dana. Mengingat biaya pendidikan musik ini sampai sekarang masih tinggi.Untuk keterangan lebih lanjut seputar program "We Care" ini, akses aja www.surabayasymphonyorchestra.com.

Oke nanti kalo ada info terbaru aku kasih tau deh.

See You, Bye Bye....


Saturday, April 4, 2009

Surabaya Symphony Orchestra

Solomon Tong - Surabaya Symphony Orchestra



               Selasa (14/04/2009) mendatang Surabaya Symphony Orchestra (SSO) akan menggelar Spring Concert 2009 di ballroom Hotel Shangri-La Surabaya. Ini merupakan penampilan ke-58 satu-satunya orkes simfoni di Surabaya tersebut.



           Perjalanan panjang SSO selama 12 tahun tak lepas dari berbagai kendala dan hambatan. Berikut petikan percakapan Radar Surabaya dengan Solomon Tong di makas SSO, Jalan Gentengkali 15 Surabaya.

Oleh LAMBERTUS L. HUREK
Dimuat Radar Surabaya edisi Minggu, 7 Desember 2008

Tidak banyak symphony orchestra yang bisa bertahan lama di Indonesia, termasuk di Jakarta. Bagaimana kiat Anda mempertahankan SSO dan secara teratur menggelar 4-5 konser per tahun?

Saya pakai falsafahnya petani. Petani itu bercocok tanam diam-diam, tapi manfaatnya bisa dinikmati orang lain. Petani menanam sayuran, tapi dia tidak ikut makan di restoran.

Nah, pemusik itu rata-rata idealis, ekonominya pas-pasan. Dia perlu uang untuk hidup, tapi selalu menjaga gengsi. Orang-orang idealis inilah yang kita ajak untuk bermain bersama SSO. Main di symphony orchestra itu punya gengsi untuk musisi meskipun hanya dapat uang sedikit.

Lantas, bagaimana agar para musisi itu bisa hidup?

Saya kasih kesempatan kepada mereka untuk mengajar musik. Kalau ngajar, dia bisa dapat Rp 5 juta sebulan. Jadi, dia bisa hidup dari mengajar, sementara idealisme dia bisa dapatkan di SSO.

Kita di Indonesia belum bisa seperti di Amerika Serikat atau Eropa. New York Symphony Orhestra itu USD 75 juta per tahun, sedangkan di sini hanya USD 75 ribu per tahun. Bedanya seribu kali lipat. Amerika punya sistem ekonomi dan perpajakan yang memungkinkan berbagai aktivitas sosial, budaya, keagamaan hidup. Kita belum punya itu.

Biaya produksi satu kali konser SSO berapa?

Konser Kemerdekaan (Agustus 2008) lalu sekitar Rp 225 juta. Konser Natal kali ini Rp 260-an juta. Itu belum termasuk biaya lain-lain. Sementara biaya logistik, utilitas SSO setiap bulan mencapai Rp 25 juta.

Apakah hasil penjualan tiket sudah bisa menutup?

Wow, jauh sekali. Pemasukan dari tiket rata-rata hanya Rp 80 juta meskipun konser SSO selalu full house. Tiketnya hanya dapat Rp 80 juta, sementara biaya produksi Rp 260 juta, ya, defisit. Defisit selalu berkisar di angka Rp 150 juta.

Jadi, SSO ini sebenarnya orkestra yang selalu kekurangan. Tapi kami masih bertahan sampai sekarang karena mukjizat dari Tuhan. Itulah idealisme. Idealisme itu seperti orang yang naik ke punggung harimau. Bisa naik, tidak bisa turun. Kalau turun, ya, diterkam harimau. Kita selalu berdoa dan selalu mendapat mukjizat itu.

Bukankah ada donasi dari kalangan pengusaha dan sponsor?

Memang ada, tapi masih jauh dari kebutuhan SSO. Sumbangan tetap pengusaha Rp 5 juta setahun. Sumbangan tidak tetap Rp 300 juta setahun. Tiket dan undangan rata-rata Rp 80 juta. Partisipasi pemain, anggota paduan suara, sekitar Rp 50 juta. Sponsor Rp 100 juta setahun. Sisanya? Yah, harus rogoh kocek sendiri dan mukjizat itu tadi.

Boleh dikasih contoh konkret mukjizat seperti apa?

Belum lama ini saya satu mobil sama Pak Suwadji Widjaja (pengusaha yang ikut mendirikan SSO, Red). Tiba-tiba Suwadji dapat telepon dari temannya. “Saya sekarang sama Solomon Tong,” kata Suwadji.

Temannya Suwadji itu ternyata tahu kalau saya mau konser. Lalu, dia bicara dengan saya mau membantu konser kami Rp 30 juta. Nilainya sama persis dengan DP yang diminta pihak Shangri-La. Akhirnya, kami membayar DP ke Shangri-La pakai uang itu. Apa ini bukan mukjizat? Dan itu membuat saya yakin bahwa pekerjaan ini memang berkenan paa Tuhan.

Lantas, apa resep Anda mempertahankan penonton SSO? Sebab, sudah menjadi rahasia umum khalayak musik klasik di tanah air belum berkembang dan musik klasik masih asing di telinga banyak orang.

Kita punya resep sendiri dan sudah terbukti ampuh selama 12 tahun. Saat ini komunitas SSO saya perkirakan kurang lebih 4.000 orang. Jadi, saya tidak pernah khawatir konser-konser SSO tidak ditonton orang.

Anggota paduan suara itu sales gratis kami. Satu anggota harus bawa paling sedikit empat penonton. Orang tua siswa SSO juga sudah dipastikan membeli undangan. Kita juga punya customer setia dari konsulat, lembaga-lembaga pendidikan, parlemen, dan kalangan gereja.

Kalau sudah sekali hadir, biasanya sulit lepas. Kenapa? Ketika berada di ruang konser, mereka ternyata bertemu dengan relasi-relasi bisnis, pejabat, konjen, dan sebagainya. Suasana seperti ini kan sulit ditemukan di tempat lain. Dan, jangan lupa, orang-orang sukses dan para ekspatriat, konsulat, itu kan sudah menganggap musik klasik, khususnya symphony orchestra, sebagai kebutuhan hidup.

Berarti segmen penonton SSO macam-macam?

Betul. Dan ini juga menjadi salah satu segi negatif SSO. Durasi konser menjadi sangat panjang dan gado-gado. Ada yang bilang campursari karena programnya macam-macam. Mulai paduan suara anak-anak, paduan suara dewasa, concerto piano, opera, lagu-lagu Indonesia, lagu-lagu Mandarin. Yah, saya harus mengakomodasi semua selera penonton.

Pada konser minggu depan, misalnya, saya tampilkan chinese orchestra. Ini juga upaya untuk membuka segmen baru di SSO. Kemudian lima orang ibu pengusaha sukses kita kasih kesempatan untuk menyanyi.

Katanya, tiket konser sudah hampir habis.

Ini yang menarik di SSO. Undangan belum dicetak, tapi sudah dipesan calon penonton. Bahkan, tiket untuk konser tahun depan (2009) sudah laku 90 persen.

Anda sejak dulu meminta Pemerintah Kota Surabaya untuk membangun gedung kesenian (concert hall).

Persis. Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia memang sudah selayaknya punya gedung kesenian. Dan itu bukan hanya untuk musik klasik atau SSO, tapi segala macam kesenian tradisional.

Kenapa ludruk, ketoprak, keroncong, wayang orang… mati? Karena tidak punya tempat main. Kalau main di THR, pinggir jalan, gedung yang jelek, siapa mau nonton? Seharusnya pemerintah segera membuat gedung kesenian yang representatif di Surabaya. Pengusaha, perwakilan asing, konsulat, para profesional sebenarnya juga ingin nonton ludruk, ketoprak, dan sebagainya.

Kita harus belajar banyak dari Tiongkok. Pemerintahnya habis-habisan keluar dana dan upaya untuk melestarikan seni dan budayanya. Sementara kita di sini kurang memperhatikan kesenian tradisional. Setelah Malaysia mengklaim kesenian Indonesia, baru kita sadar. Tapi tidak ada action lanjutan.


Main ‘Piano’ Mulut

SUDAH ribuan pemusik, khususnya pianis dan vokalis, dicetak Solomon Tong sejak 1950-an. Para anak didiknya tersebar di seluruh Indonesia, juga mancanegara. Tapi tak banyak yang tahu kalau Tong sendiri pertama kali belajar musik dalam kondisi darurat.

“Sejak kecil saya dan saudara-saudara saya hidup susah. Prihatin,” cerita Solomon Tong. Dia meninggalkan Xiamen, Tiongkok, menuju Surabaya pada 1949. Usianya baru 10 tahun.

Saking susahnya, Tong cilik terpaksa belajar musik tanpa piano beneran. Dia membuat piano-pianoan, tuts hitam-putih pakai gambar. “Saya main seakan-akan itu piano sungguhan. Bunyinya, ya, dari mulut saya sendiri,” kenangnya lantas tersenyum lebar.

“Bagaimana orang tua saya bisa beli piano? Kami di rumah hidup susah. Satu ranjang ditiduri enam orang. Kayak pindang,” tambahnya.

Karena itu, Solomon Tong mengaku tak bisa menempuh pendidikan musik klasik formal. Toh, semangat belajar musiknya luar biasa. Dia tak sungkan-sungkan berguru pada sejumlah musisi ternama di Surabaya. Dan sejak 1957 Tong sibuk melatih berbagai paduan suara di Surabaya.

Kini, Tong mengaku bahagia karena apa yang tempo doeloe tidak mampu dibeli sudah ia miliki. Kalau dulu tak punya piano, hanya bisa main piano-pianoan, sekarang Tong punya banyak sekali piano. Punya sekolah musik. Punya orkestra klasik. Punya majalah musik, padahal waktu kecil dia tak mampu membeli majalah.

Dia juga mendirikan perguruan tinggi teologia. “Saya juga jadi dosen di banyak perguruan tinggi. Bahkan, dapat doktor honoris causa. Saya selalu percaya bahwa ini semua merupakan mukjizat dan berkat yang luar biasa dari Tuhan,” tandasnya.